desecrator
Indonesian Times
12-07-2005, 07:48 AM
Salah satu teman karibku menelpon semalam dan meminta saran. Hal terburuk
yang mungkin terjadi pada diri seorang fans LFC telah menimpanya. Berikut
ini aku tuliskan kisahku sendiri yang berkaitan dengan apa yang ia alami
saat ini.
Bulan September, tahun 1987. 'Bluenose' (panggilan untuk fans & pemain
Everton) telah menjadi juara liga pada bulan Mei tahun yang sama. Wooly dan
Nyonya Wooly tinggal di sebuah rumah di desa Woolton. Wooly kecil (Billy)
pada saat itu baru memasuki tahun keduanya di sekolah. Setelah menyelesaikan
hari yang melelahkan di kantor dan singgah di bar lokal untuk minum-minum
'ringan' dalam perjalanan ke rumah, aku tiba dan disambut dengan kalimat,
"Sebaiknya kamu menasehati anakmu!"
Ini bukan sambutan yang tidak biasanya karena Nyonya Wooly sering
menggunakan frase "Tunggu sampai Ayahmu pulang!".
Anak lelakiku pasti baru selesai menangis, wajahnya merah dan matanya
membengkak. Aku membawanya ke dapur karena aku tahu ini pasti adalah obrolan
antar lelaki.
"Ada apa nak?" Aku bertanya.
"Aku sedang mempertimbangkan" jawab anakku yang matanya masih basah.
"Oh yah? Itu awal yang bagus." jawabku lagi.
"Seluruh temanku di sekolah,..." dia berhenti agak lama kemudian berjata
"adalah...adalah....ermmm...".
"Adalah apa nak? Ayo muntahin aja!"
"Ermm..., mereka fans Everton".
Jantungku berdegub dengan kencang, apa yang sedang terjadi? Lalu aku jawab,
"Iya, lalu?"
"Aku telah mempertimbangkan...mungkin aku akan mendukung Everton saja."
Jantungku serasa berhenti, aku tak percaya dengan apa yang aku dengar saat
ini.
Dalam jangka waktu 3 detik, aku berpikir, bagaimana aku akan menjelaskan hal
ini kepada teman-teman lamaku? Apa yang akan mereka katakan di kantor ketika
mereka mengethuinya? Apa yang telah aku lakukan? Mungkinkah ini merupakan
semacam 'Antikris' terselubung dalam diri anakku? Apa yang guru-gurunya
ajarkan di sekolah?
"APA?!!!" hanya kata ini yang bisa aku keluarkan.
"Erm .... Aku ..... tadi.... berpikir.... mungkin.... aku....
ingin....mendukung..."
Badanku serasa menjadi kaku, "Jangan pernah kamu berani menggunakan kata itu
lagi di rumah ini!"
Badan si Wooly kecil mulai berguncang, tetapi ia terdiam dan tidak
mengeluarkan suara apapun. Aku juga tidak tahu hendak berkata apa.
"Tapi......tapi....... baiklah. Jangan berharap kamu akan mendapatkan uang
jajan dariku!" hanya inilah kalimat yang bisa aku pikirkan.
Aku bisa melihat anak lelakiku ini begitu gigih dan tidak ada yang bisa aku
katakan untuk merubah pikirannya pada saat ini. Lalu aku duduk di sofa dan
membenamkan kepalaku pada kedua telapak tangan, Nyonya Wooly menyibukkan
diri di dapur, dan anak perempuanku duduk disamping sambil menyentuh
lututku. "Ayah akan baik-baik saja." Demikian katanya.
Duniaku serasa runtuh dan yang bisa aku lakukan hanyalah duduk di sana dan
bergumam kepadanya, "Kamu tidak mengerti, Sayang".
Satu-satunya yang bisa aku lakukan adalah mengajak anjingku jalan-jalan (hal
yang biasa aku lakukan ketika sedang galau). Setelah berjalan sejauh 50 yard
aku sampai ke sebuah pub (bar); cukup jauh, anjingku terlihat sangat lelah.
Duduk di sudut yang sepi dan menghabiskan 1 pint (sekitar 3/4 liter kalo gak
salah) bir adalah caraku menyelesaikan masalah yang baru datang menghantam.
Ketika aku kembali ke rumah Nyonya Wooly menyediakan teh di atas meja.
Anjingku kembali ke kandangnya di halaman belakang setelah jalan-jalan yang
cukup jauh. Kami minum teh sambil menyantap keripik (dan aku minum setengah
pint bir lagi). Aku lebih cepat selesai minum tehku dan meninggalkan meja.
Aku naik ke lantai atas ke kamar anakku dan mengambil selimut dan bantalnya
kemudian kembali ke dapur.
"Apakah kamu sudah selesai minum teh, nak?"
"Ya Ayah."
"Baik, jadi kamu sudah siap?"
"Siap apa Ayah?" Dia bertanya.
"Aku sendiri tadi sudah mempertimbangkan dan jika kamu memang gigih ingin
menjadi 'SALAH SATU DARI MEREKA', maka hanya ada satu hal untuk itu. Aku
membuka pintu belakang dan memanggil anjing kami. "Sam, ayo masuk sini."
Anakku melihat dengan pandangan bingung. Setelah Sam (nama anjing) berlari
melewatiku ke tempat yang ia sukai di ruang keluarga, aku mengantar Billy ke
halaman belakang.
"Ini rumah barumu" kataku sambil menunjukkan padanya kandang berukuran 3
kaki x 3 kaki x 4 kaki dan tanpa 1 katapun dia masuk ke sana.
Aku kembali ke dapur, wajah isteriku persis orang yang hendak membunuh dan
aku harus mengakui rasa mual di perutku. Aku bilang padanya bahwa dia pasti
akan segara mengetuk pintu segera dan semuanya akan beres. Namun dia begitu
gigih dan setelah 1 jam masih tidak ada ketukan sama sekali.
Kemarahan istriku hampir meledak. Dia berkata, "Biarkan ia masuk sayang".
Aku memandang ke arah pintu belakang. Hujan mulai turun dan saat aku
mengintip lewat kasa jendela dapur, aku bisa melihatnya. Dia seperti seekor
tikus kelelep. Kekagumanku pada anak lelaki ini sekarang berlipat tiga,
Evertonian atau bukan dia sangat gigih dan bangga akan pilihannya.
Aku harus menyerah dan tidak mungkin membiarkan ini lebih lama lagi.
Kemudian aku mendengar ketukan kecil. I segera berlari ke arah pintu
belakang dan melihat melalui kaca, dia basah kuyup. Dengan wajah datar aku
berkata, "Ya nak?"
"Bolehkah aku masuk?" Dia bertanya. Seandainya dia bisa membaca pikiranku,
dia pasti bisa menebak bahwa DIA TELAH MENANG.
Dia masuk melewati pintu belakang dan berkata, dengan senyuman gugup, "Itu
bukan ide terbaik yang pernah aku pikirkan bukan?" Aku menangis, bagaimana
mungkin Ayahnya setega ini? Tega melakukan hal seperti ini pada anak berumur
6 tahun? Aku malu memikirkan apa yang telah aku lakukan.
Kami berjalan bersama ke kamar mandi dan aku mandikan dia dengan air hangat.
Dia duduk di atas toilet dan aku menceritakan sejarah Liverpool Football
Club kepadanya saat ia aku mandikan. Aku jelaskan kepadanya bahwa meskipun
Everton baru menjadi juara, akan perlu waktu sangat panjang bagi mereka
untuk menjadi juara lagi.
Aku jelaskan padanya inti tentang memilih sebuah tim untuk didukung dan
tetap mendukung mereka apapun yang terjadi, bukannya kemudian meninggalkan
dan pindah tim. Dia hanya mengangguk ketika aku berbicara. Nyonya Wooly
berdiri di belakangnya mengeringkan rambutnya yang basah.
Setelah Billy terlelap aku menelpon boss dan meminta cuti mendadak karena
keadaan yang sangat gawat, bahkan ini situasi ini merupakan keadaan GAWAT
yang tertinggi. Keesokan harinya, si Liverpudlian kecil pergi ke sekolah
dengan sebuah pandangan baru tentang kebanggaan menjadi fans the Reds. Wooly
juga pergi ke B&Q (mungkin toko perkakas/alat rumah kali? - min).
Setelah bekerja keras seperti budak, menjelang jam 3 sore, proyek "RED ROOM"
selesai dikerjakan. Dalam waktu yang singkat ini, aku mengecat seluruh
dinding kamarnya dan pintu dengan warne putih mengkilap, seluruh frame
dengan warna merah. Aku telah membeli sarung selimut Liverpool FC dan bantal
yang baru, sebuah lampu Liverpool, radio-kaset player Liverpool (dengan
kaset berisi lagu-lagu the Kop). Aku telah menggantung seluruh bendera
Liverpool yang aku bawa ketika menonton Liverpool di Eropa dan scarf
Liverpool di dinding. Langit-langit kamarnya ditutupi dengan banner tua yang
distaples ke 'Plaster' dengan tulisan 'ONCE A RED, ALWAYS A RED, ROME 1977'.
Aku menghabiskan banyak sekali uang pada hari itu tetapi setelah melihat
wajah cerianya ketika dia pulang ke rumah, aku merasa setiap 'penny' telah
digunakan untuk hal yang sangat layak.
Billy sekarang berumur 23 tahun, tingginya 6 kaki 3 inci, badannya besar,
dan telah berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada ayahnya karena telah
menunjukkan jalan yang benar baginya. Kisah ini lebih sering ia ceritakan
sendiri daripada olehku dan kami sering tertawa bersama, tetapi aku tidak
pernah memberitahunya bahwa aku hampir kalah dan menyerah, dan betapa ia
telah begitu dekat dengan kemungkinan seumur hidup menjadi seorang BLUENOSE.
*****
Tulisan 'Wooltonian' (nama aslinya Karl .....[apa yah gak tahu deh]), salah
satu suporter 'senior' The Reds, pecinta LFC sejati, sering banget ikut
nonton away games baik di England maupun di Europe, season ticket holder
untuk games di Anfield, aktif di Message Boards liverpoolfc.tv dan juga di
Red and White Kop website - rawk.co.uk.
Tulisan ini diambil dari website RAWK - The Independent Liverpool FC
Website, diterjemahkan oleh Minarwan